Industri Sagu Rakyat Meranti

on Kamis, November 20, 2008

Perkebunan sagu di Meranti telah menjadi sumber penghasilan utama hampir 20% masyarakat Meranti. Sagu di Meranti bukanlah tumbuhan hutan yang liar seperti di Papua dan Maluku. Batas-batas tanah telah disepakati oleh pemilik dan pemerintah. Sebagian besar perkebunan sagu tersebut merupakan warisan keluarga sehingga pertumbuhan luasan areal perkebunan sangat kecil. Hal ini dikarenakan masyarakat jarang melakukan perluasan tanaman sagu (penanaman tanaman baru) pada tanah mereka. Sebagian petani yang hanya memiliki luasan kurang dari 20 Ha biasanya menjual sagu batangan kepada pemilik kilang sagu (pabrik pengolahan) dan sebagian ada yang titip olah dan kemudian hasilnya dibagi sesuai kesepakatan dengan pemilik kilang.

Pertumbuhan tinggi pohon sagu pertahun diperkirakan 1,5 meter. Pohon sagu masak tebang (siap panen) biasanya berumur 8 – 12 tahun. Tahapan ini ditandai dengan terjadinya penurunan dalam ukuran pelepah yang baru terbentuk pada bagian pucuknya dan terlihat warna keputihan menyerupai serbuk pada pelepah. (Rostiawati, Shoon, Natadiwirya, Balitbanghutbun, Jkt)

Perkebunan sagu rakyat di Meranti masih dibudidayakan secara tradisional. Hal ini bisa dilihat dari kerapatan tanaman sagu pada perkebunan rakyat. Jarak tanam yang terlalu rapat mengakibatkan kurangnya ruang bagi pertumbuhan anakan (tunas).


Proses Produksi Sagu Rakyat di Meranti

Kilang-kilang sagu di Meranti berkapasitas 600 - 3.500 ton tepung sagu pertahun. Dengan mengandalkan mesin diesel berkekuatan 12 – 30 Horse Power untuk mengoperasikan mesin pompa air guna mensuplai kebutuhan air (proses pencucian), menjalankan kanban serta alat parut yang dimodifikasi secara sederhana sehingga menghasilkan tepung sagu dengan kandungan air 15 – 18%.


Panen dan Pengangkutan Hasil Panen

Pohon sagu ditebang dengan memotong batang pada bagian dasar, diusahakan dekat dengan permukaan tanah agar mendapatkan berat batang maksimal. Batang sagu dipotong sepanjang + 1,2 meter (log) dengan menggunakan gergaji mesin untuk mempermudah proses pengangkutan ke pengolahan. Kemudian log-log tersebut dibawa ke pabrik pengolahan dengan digulingkan atau didorong dengan perlengkapan sederhana ke sungai. Log-log tersebut kemudian dikumpulkan dalam satu bentuk ikatan yang menyerupai rakit kemudian dibawa dengan perahu ke pabrik pengolahan.

Sebagai catatan, proses panen yang biasa dilakukan petani ini belum optimal. Proses pemotongan log berpotensi menghilangan berat log. Hal ini bisa diminimalisir dengan memperpanjang ukuran log, namun akan mennyulit proses transportasi log ke tempat pengolahan.

Proses pengolahan sagu

Log-log sagu yang akan diolah terlebihdahulu dikuliti (dikupas) bagian luarnya. Bagian kulit luar ini keras dan tebal kulit 2 – 3 cm. Pengupasan ini biasanya mengunakan kapak atau pisau yang agak besar. Tujuan proses pengupasan adalah memisahkan bagian dalam yang berbentuk seperti gabus dengan kulit luarnya yang keras dan tebal. Kemudian bagian dalamnya ini dipotong kecil dan dimasukan kedalam mesin parutan yang berbentuk drum berpaku yang berputar. Belakangan mesin parut ini digantikan dengan mesin parut dengan bejana berbahan stainless steel dengan motor diesel berkekuatan 7 HP, mesin parut ini prinsip kerjanyanya mirip dengan mesin parut kelapa

Hasil parutan akan dibawa oleh kanban secara mekanis dan jatuh pada bak penampungan. Parutan tersebut kemudian dicampur dengan air dan diaduk secara manual menggunakan tenaga manusia (kadang memakai sistem mekanis), proses ini adalah proses ekstraksi sagu menjadi tepung (starch). Pengadukan didalam media aduk ini sebenarnya merupakan proses pelumatan daging batang sagu (yang berbentuk gabus) dengan bantuan air sebagai katalis. Hasil ekstraksi ini menghasilkan serat (fiber) dan butiran untuk kemudian disaring dengan kain yang terbuat dari nylon dengan ukuran + 200 mesh. Proses ekstraksi ini menghasilkan ampas yang oleh masyarak Meranti disebut dengan “repu” yang kemudian menjadi penyebab pencemaran sungai-sungai di sekitar meranti karena kilang-kilang sagu di Meranti berada dipinggir sungai.

Hasil saringan dari proses ekstraksi dialirkan ke bak penampungan (bak beton atau ember kayu besar) untuk proses pengendapan, proses ini akan memisahkan air dengan hasil ekstraksi (tepung basah) Setelah bak penampungan penuh dengan endapan kemudian untuk yang keduakalinya endapan tersebut diaduk dalam media adukan untuk kemudian dialirkan ke bak penampungan untuk diendapkan. Setelah pengendapan, tepung basah dijemur dengan memanfaatkan sinar matahari.

Sebenarnya ampas pengolahan sagu (repu) ini biasanya sebagai pakan ternak terutama babi. Tapi karena produksi kilang sagu sudah demikian tinggi amaps pengolahan sagu ini menjadi menggunung. Baru-baru ini ada riset yang menyatakan bahwa amapas pengolahan sagu dapat dicampur sampai sebesar 25% untuk pakan unggas.

Permasalahan Limbah Cemaran Produksi Petani Sagu

Hal inilah yang sebenarnya harus menjadi perhatian serius pemerintah. Kilang sagu mini milik petani sagu di Meranti tidak akan mungkin membangun IPAL karena investasinya begitu mahal. Penataan kawasan industry pengolahan kecil milik petani bisa dilakukan dari sekarang. Pemerintah Daerah harus membangun Instalasi Pengolahan Air Limbah yang akan dimanfaatkan secara bersama oleh petani sagu. Sehingga efek pembuangan air limbah proses pengolahan bisa terkendali. Pemerintah juga dengan teknologi yang telah berkembang bisa memanfaatkan ampas pengolahan sagu atau repu untuk pakan ternak. Sehingga Industri Sagu sebagai Zero Waste Industry akan terwujud.

Namun begitu kebijakan tersebut akan meyisakan permasalahan bagi pemilik kilang dan petani sagu eksisting. Jarak pabrik pengolahan yang biasanya dekat dengan perkebunan kini harus memperpanjang waktu tempuh. Mesin dan fasilitas pabrik harus direlokasi kekawasan terpadu yang lebih bersahabat dengan lingkungan sesuai dengan kebijakan pemerintah. Pemilik kilang harus memperhitungkan biaya break down,re installment mesin dan biaya pemindahan fasilitas pabrik lainnya. Kajian terhadap permasalahan ini akan menjadi acuan pemerintah dalam memutuskan kebijakan mengenai relokasi kilang-kilang sagu rakyat di Meranti.

METROXYLON SAGU ROTTBOL

on Selasa, November 18, 2008

TANAMANAN KOMERSIAL MASYARAKAT HUTAN BAKAU MERANTI
(Meranti Mangrove Society Commercial Plants)

Sagu selama ini masih dianggap sebagai komoditas kehutanan non kayu. Penanaman Sagu skala besar yang dilakukan PT National Timber di Selatpanjang-Riau pada tahun 1996 diatas lahan dengan status Hutan Tanam Industri dan kemudian berubah menjadi HPHTI pada tahun 2008. Hal ini tentunya nanti tanaman sagu akan terkena Iuran Hasil Hutan (IHH) sebagaimana hal serupa yang dikenakan kepada seluruh komoditas kehutanan, namun IHH yang dikenakan pada tanaman sagu tidak sebesar kayu dan sejenisnya.

Pohon sagu atau rumbia termasuk dalam jenis tanaman palmae tropical yang menghasilkan kanji (starch) dalam batang (steam). Sebatang pohan sagu siap panen dapat menghasilkan 180 – 400 kg tepung sagu kering. Tanaman sagu dewasa atau masak tebang (siap panen) berumur 8 sampai 12 tahun atau setinggi 3 – 5 meter. (Jong Foh Soon, Ph.D, PT National Timber Forest product)

Belum diketahui secara jelas berapa jumlah varietas sagu yang terdapat di Kepulauan Meranti. Keanekaragaman plasma nutfah sagu di Kepulauan Meranti masih sangat terjaga dikarenakan kebun-kebun sagu di Kepulauan Meranti menjadi sumber ekonomi masyarakat yang dijaga kelestariaannya oleh petani sagu di Kepulauan Meranti. Namun tidak berarti erosi genetis dapat kita abaikan karena penanaman sagu dalam skala besar yang dilakukan di Selatpanajang membudidayakan sagu varietas Metroxylon sagu Rottbol sebagai tanaman komersil.. Bukan suatu hal yang mustahil varietas-varietas sagu yang lainnya seperti Metroxylon rumpii Martius, Metroxylon sylvester Martinus, Metroxylon longispinum Martinus, dan Metroxylon micracantum Martinus (yang mungkin terdapat di Kepulauan Meranti) akan hilang.


Perkebunan dan Pengolahan Sagu Rakyat di Kepulauan Meranti

Luas areal tanaman sagu di Indonesia diperkirakan 1,5 juta Hektar dibandingkan dengan luas tanaman sagu di Kepulauan Meranti (44,657 Ha – Kab. Bengkalis 2006) hanya menyumbang 2,98% luas tanaman sagu nasional. Produksi sagu (Tepung Sagu) di Kepulauan Meranti pertahun mencapai 440.339 Ton (tahun 2006). Produktivitas lahan tanaman sagu per tahun (kondisi eksisiting) dalam menghasilkan tepung sagu di Kepulauan Meranti mencapai 9,89 Ton/Ha.

Sebagian besar lahan perkebunan sagu rakyat di Kepulauan Meranti hampir bisa dikatakan tidak memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM). Akibat ekonomis yang ditimbulkan adalah tanah kebun tidak diakui sebagai asset atau property yang memiliki nilai jual ekonomis yang diakui dan memiliki kepastian hukum. Sehingga lahan tanaman sagu masyarakat tersebut tidak dapat dijadikan penjamin kredit ke bank, kalaupun bisa biasanya pihak bank hanya menilai sebatas tanaman yang tumbuh diatas lahan masyarakat tersebut.

Persoalan tata batas kawasan hutan di Kepulauan Meranti seperti bom waktu yang senantiasa menjadi ancaman terhadap nasib lahan tanaman sagu rakyat (saya lebih suka memakai istilah kebun sagu rakyat sebenarnya). Pembukaan HTI baru-baru ini (April 2008) menyisakan konflik antara masyarakat desa (Desa Nipah Sendadu, Sungai Tohor, Tanjung Sari, Lukun dan Desa Kepau Baru) dengan pihak perusahaan. Kemungkinan pihak-pihak yang berkepentingan masih menganggap perkebunan sagu rakyat adalah “hutan sagu” yang mana tanaman sagu menjadi tanaman yang dominan pada kawasan hutan tersebut. Ini diperkuat dengan enggannya pihak Departemen Kehutanan melepaskan kawasan “hutan sagu” tersebut.

Pada tahun 2006 di Kepulauan Meranti 440.000 ton lebih tepung sagu dihasilkan dari pabrik pengolahan sagu (kilang sagu). Tak didapat data pasti mengenai jumlah kilang dan kapasitas kilang pengolahan, namun diperkirakan terdapat 50 kilang sagu dengan mengunakan teknologi semi mekanis dan masih memanfaatkan sinar matahari untuk pengeringan (penjemuran). Terdapat dua kilang sagu yang telah beroperasi dan memproses sagu secara modern dengan kapasitas disain 6.000 dan 10.000 Ton tepung sagu kering per tahun.


Kecamatan

Produksi (Ton)

Luas (Ha)

1

Merbau

169,766

9,334

2

Rangsang

10,656

10,656

3

Rangsang Barat

-

-

4

Tebing Tinggi

233,625

233,625

5

Tebing Tinggi Barat

26,262

26,262

Jumlah Total

440,309

279,877


Kilang-kilang sagu di Kepulauan Meranti biasanya dimiliki oleh petani yang memiliki luasan kebun 20 Ha atau lebih. Sedang petani yang hanya memiliki luasan kebun kurang dari 20 Ha biasanya menjual pohon sagu mereka dengan hitungan batang atau tual atau titip olah kepada pemilik kilang.


Pemerintah dan Sagu Meranti

Nasib sagu Meranti tak lah secantik namanya. Potensi perkebunan ini dibiarkan saja menjadi komoditas yang tak terurus dan dianak tirikan. Pemerintah daaerah yang selama ini diharapkan dapat menjadi stimulan bagi terciptanya Industri Sagu sebagai tanaman rakyat di Meranti dengan mendorong terciptanya industri hilir sagu (pengolahan tepung sagu menjadi produk turunan lainnya) belum memiliki visi tentang industry ini, alih-alih menjadi pendorong malah pemerintah mengancam akan menutup kilang-kilang sagu yang tidak mengindahkan lingkungan dengan membuang air limbah ke sungai tanpa pengolahan karena sebenarnya kilang-kilang sagu skala kecil di Meranti tidak memiliki Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL).

Industri sagu sebenarnya merupakan Zero Waste Industry dengan arti bahwa tak ada sedikitpun dari sagu yang tak dimanfaatkan dan dapat menjadi komoditi ekonomis. Namun sekali lagi pemerintahlah yang dalam hal ini sangat berperan penting mendorong terciptanya sagu menjadi sebuah industri.

Pemerintah seharusnya melakukan penataan kawasan hutan yang terdapat tanaman sagu rakyat dan mendorong serta memfasilitasi agar supaya petani mensertifikasi tanah mereka sehingga memiliki status hukum yang sah serta dapat dijadikan jaminan kredit dan mempermudah akses ke lembaga keuangan. Selanjutnya pemerintah daerah sebagai pemegang otoritas perdagangan sebaiknya mulai mengatur tata niaga perdagangan sagu dengan menerbitkan regulasi mengenai harga jual sagu batangan, sagu kering ditingkat petani yang menguntungkan petani sehingga tidak terjerat oleh tata niaga yang dilakukan pemilik modal besar. Penanaman sagu skala besar di Selatpanjang sangat memungkinkan petani sagu menjadi buffer (petani mitra/plasma) bagi perusahaan inti.


Industri Sagu Meranti

Lahirnya industri pertanian selalu diawali dengan surplus hasil panen dibandingkankan konsumsi petani, hasil panen ini berubah menjadi komersil setelah menjadi kebutuhan orang banyak. Kemudian terciptalah tataniaga perdagangan komoditi pertanian tersebut yang pada akhirnya berkembang menjadi industry karena produk hasil panen tersebut telah mengalami perkembangan dan perubahan nilai (value development)

Batang sagu pada awalnya diolah untuk diambil patinya dengan diproses secara manual oleh petani. Proses mendapatkan pati tersebut kemudian karena perkembangan teknologi diproduksi secara massal. Pati atau kanji dari batang sagu tersebut telah dibuat menjadi aneka produk turunan yang bernilai ekonomis.

Sagu sebagai produk pertanian telah sampai pada fase industrial modern dalam artian secara manufaktur telah diproduksi secara mekanis dan bersifat massive. Permintaan dan penawaran produk sagu dipasaran (starch market) telah diakui sebagai produk substitusi pengganti kanji jagung dan gandum serta sejajar dengan tapioka dan tanaman lainnya.

Sagu di Sarawak – Malaysia menjadi komoditi perkebunan ketiga setelah sawit dan merica. Luas areal tanaman sagu di Sarawak hanya sekitar 30.000 Ha. Sebanyak 50.000 ton tepung sagu dihasilkan tiap tahunnya, namun hanya cukup untuk memenuhi permintaan dari dalam negeri (Malaysia) saja. Sarawak mengklaim dirinya sebagai pelopor dalam kegiatan memproses sagu di dunia. Teknologi dan peralatan produksi (sebagian di modifikasi) serta pabrik memproduksi tepung sagu modern telah berdiri disana. Dengan kata lain sagu telah menjadi industri yang telah berkembang dan diperhatikan pemerintah Sarawak.

Lalu kenapa dengan Meranti? Dengan luasan tanaman sagu (kondisi eksisting tanpa campur tangan pemerintah) yang telah mencapai 280.000 Ha serta produksi pertahun 440.000 ton lebih tepung sagu kering dan budaya yang telah melekat pada masyarakat tempatan serta ketersediaan lahan pertanian yang masih potensial, sagu Meranti layak untuk menjadi industri rakyat tempatan yang modern dan handal. Bagaimana Saudara?

SAGU DI KEPULAUAN MERANTI

on Selasa, November 11, 2008

Tanaman sagu banyak dijumpai disekitar Pulau Merbau, Pulau Rangsang, Pulau Tebingtinggi (Kepulauan MERANTI) Propinsi Riau. Sagu telah menjadi makanan alternatif pengganti beras oleh penduduk di Kepulauan Meranti, bahkan oleh beberapa penduduk disana menjadi makanan pokok untuk memenuhi kebutuhan karbohidrat mereka.

Lain halnya seperti di Papua dan Maluku, sagu di Kepulauan Meranti telah menjadi komoditas ekonomi unggulan masyarakat dan secara alami terbentuk industri Sagu skala kecil (baca Industri Rakyat). Luasan Tanaman Sagu Rakyat di Propinsi Riau diperkirakan seluas 52.344 Ha, dari total luasan tersebut, sagu Kep. Meranti memberi kontribusi sebesar 90%. Hasil akhir industri sagu rakyat di Kep. Meranti adalah berupa Kanji Sagu atau Tepung Sagu (Sagoo Starch). Dari tepung sagu tersebut penduduk Kep. Meranti membuat aneka makananan yang menjadi ciri khas daerah Kep. Meranti. Makanan tersebut adalah Mie Sagu, Lempeng Sagu, Sagu Rendang -di Papua dan Maluku lebih dikenal dengan sebutan Sagu Mutiara- dan aneka kue dari sagu.


Tanaman asli Papua New Guinea ini telah ada di Kepulauan Meranti secara turun temurun tak ada catatan secara pasti siapa yang pertama menanam sagu di Kep. Meranti.
Namun yang perlu dicermati adalah proses komersialisasi sagu telah lama terjadi walau dalam skala kecil . Sagu Kep. Meranti sekarang telah di ekspor ke Malaysia dan Singapura.